A. PENGERTIAN
Secara istilah, Isra berjalan di waktu malam hari, sedangkan Miraj adalah alat (tangga) untuk naik. Isra mempunyai pengertian perjalanan Nabi Muhammad saw pada waktu malam hari dari Masjid Al Haram Mekkah ke Masjid Al Aqsha Palestina.
Secara istilah, Isra berjalan di waktu malam hari, sedangkan Miraj adalah alat (tangga) untuk naik. Isra mempunyai pengertian perjalanan Nabi Muhammad saw pada waktu malam hari dari Masjid Al Haram Mekkah ke Masjid Al Aqsha Palestina.
Miraj adalah kelanjutan perjalanan Nabi Muhammad saw dari
Masjid Al Aqsha ke langit sampai di Sidratul Muntaha dan langit
tertinggi tenpat Nabi Muhammad saw bertemu dengan Allah swt. Isra’ Miraj
adalah kisah perjalanan Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dalam waktu
semalam. Prosesi sejarah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad termaktub
dalam QS. 17.Al-Isra’ :1 yang berbunyi
“Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17.Al-Isra’ :1)
Dan tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18:
“Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm:13-18)
B. ASAL USUL
Sebagian besar kaum
muslimin, terkhusus di negeri ini meyakini bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj
jatuh pada malam 27 Rajab. Biasanya mereka isi malam itu dengan
qiyamullail kemudian puasa pada siang harinya. Berbagai perayaan pun
diadakan untuk memperingati peristiwa yang menjadi salah satu mu’jizat
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Benarkah Isra’ dan Mi’raj ini terjadi pada malam 27 Rajab?
Para ulama sejak dahulu sudah membahas dan menerangkan permasalahan
ini dalam kitab-kitab mereka. Dan kesimpulan dari keterangan mereka
adalah:
Bahwa tidak ada satupun dalil yang shahih dan sharih (jelas)
yang menunjukkan kapan waktu terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Para
sejarawan sendiri berbeda pendapat dalam menentukan kapan waktu
terjadinya peristiwa itu.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah menyatakan ada lebih dari sepuluh pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan kapan waktu terjadinya Isra’ dan Mi’raj,
di antaranya ada yang menyebutkan pada bulan Ramadhan, ada yang
menyebutkan pada bulan Syawwal, bulan Rajab, Rabi’ul Awwal, Rab’iul
Akhir, dan berbagai pendapat yang lain.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih dari Al-Qasim bin Muhammad bahwa Isra’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi pada 27 Rajab. Riwayat ini diingkari oleh Ibrahim Al-Harbi dan para ulama yang lain.”
Al-’Allamah Abu Syamah rahimahullah dalam kitabnya, Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawaditsmenyebutkan
bahwa terjadinya Isra’ bukan pada bulan Rajab. Kemudian beliau juga
mengatakan: “Sebagian tukang kisah menyebutkan bahwa Isra’ dan Mi’raj
terjadi pada bulan Rajab, perkataan seperti ini menurut ulama ahlul jarh
wat ta’dil adalah sebuah kedustaan yang nyata.”
Semakna dengan yang dikatakan oleh Abu Syamah di atas adalah
keterangan Ibnu Dihyah, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Hajar rahimahumullahu jami’an.
Sekarang, mari kita menengok bagaimana penjelasan Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah -seorang
ulama besar madzhab Syafi’i dan sering dijadikan rujukan oleh kaum
muslimin termasuk di Indonesia- terkait permasalahan ini. Dalam
kitabnya, Syarh Shahih Muslim, beliau berkata:
“Peristiwa Isra’ ini, sebagian kecil berpendapat itu terjadi 15 bulan setelah diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Harbi mengatakan bahwa itu terjadi pada malam 27 bulan Rabi’ul
Akhir, satu tahun sebelum hijrah. Az-Zuhri mengatakan bahwa itu terjadi 5
tahun setelah diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Nabi mengalami peristiwa Isra’ ketika agama
Islam sudah tersebar di kota Makkah dan beberapa qabilah.”
Beliau tidak memastikan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada malam 27
Rajab, beliau hanya sebatas menukilkan pendapat sebagian ulama
sebagaimana telah disebutkan.
Sebagian ulama memperkirakan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini
terjadi tiga atau lima tahun sebelum hijrah. Karena setelah mendapatkan
wahyu perintah untuk mendirikan shalat lima waktu pada peristiwa
tersebut, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam masih sempat menunaikannya beberapa waktu bersama Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri beliau. Dan tidak diperselisihkan bahwa Khadijah radhiyallahu ‘anha meninggal tiga atau lima tahun sebelum hijrah. Wallahu a’lam.
Berdasarkan keterangan para
ulama di atas, maka kita tidak boleh menetapkan, memastikan, ataupun
meyakini bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab. Hanya Allah subhanahu wata’alasajalah yang mengetahui kapan peristiwa tersebut terjadi, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
hamba-Nya yang menjalaninya. Sementara kita tidak mendapatkan satupun
ayat al-Qur’an maupun hadits yang memberitakan kapan peristiwa tersebut
terjadi.
C. HUKUM MERAYAKAN ISRA MI'RAJ
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang al-amin (yang terpercaya) dan memiliki sifat amanah. Dengan sifat inilah, beliau telah menyampaikan seluruh risalah dan syari’at Allahsubhanahu wata’ala kepada
umat ini dengan lengkap dan sempurna. Tidak ada satu kebaikan pun,
kecuali pasti telah beliau ajarkan kepada umatnya. Dan tidak ada satu
kejelekan pun, kecuali pasti telah beliau peringatkan dan beliau larang
umatnya untuk mengerjakannya.
Kalau seandainya peringatan Isra’ Mi’raj itu bagian dari risalah dan syari’at Allah subhanahu wata’ala, pasti beliau telah ajarkan kepada umatnya. Kalau seandainya peringatan Isra’ Mi’raj ini amalan yang baik, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta
para shahabatnya adalah orang-orang pertama yang mengadakan acara
tersebut. Demikian pula para ulama generasi berikutnya yang mengikuti
dan meneladani mereka, semuanya akan mengadakan perayaan-perayaan khusus
untuk memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sehingga acara peringatan Isra’ Mi’raj, dalam bentuk apapun acara
tersebut dikemas, merupakan amalan bid’ah, sebuah kemungkaran, dan
perbuatan maksiat karena:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak pernah merayakannya atau memerintahkan kepada umatnya untuk merayakannya.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk urusan (syari’at) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
2. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan seluruh shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah pula merayakannya. Demikian pula para tabi’in, seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, dan yang lainnya rahimahumullah.
3. Para ulama yang
datang setelah mereka, baik itu imam yang empat (Abu Hanifah, Malik,
Asy-Syafi’i, Ahmad), Al-Bukhari, Muslim, An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu
Katsir, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dan yang lainnya rahimahumullah,
hingga para ulama zaman sekarang ini. Mereka semua tidak pernah
merayakannya, apalagi menganjurkan dan mengajak kaum muslimin untuk
mengadakan peringatan itu. Tidak didapati satu kalimat pun dalam kitab-kitab mereka yang menunjukkan disyari’atkannya peringatan Isra’ Mi’raj.
4. Kenyataan yang terjadi jika perayaan ini benar-benar diadakan, yaitu munculnya berbagai kemungkaran, di antaranya:
a. Terjadinya ikhtilath, yaitu bercampurbaurnya antara laki-laki dan perempuan.
b. Dilantunkannya shalawat-shalawat yang bid’ah dan bahkan sebagiannya mengandung kesyirikan.
c. Didendangkannya lagu-lagu dan alat musik yang jelas haram hukumnya.
d. Mengganggu kaum muslimin. Di antara bentuk gangguan itu adalah:
o Terhalanginya pemakai jalan atau minimalnya mereka kesulitan
ketika hendak melewati jalan di sekitar lokasi acara, karena banyaknya
orang di sana.
o Suara musik dan lagu yang sangat keras pada acara terebut, juga
mengganggu tetangga dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi acara.
Orang yang telah lanjut usia, orang sakit, maupun bayi-bayi dan
anak-anak kecil yang semestinya membutuhkan ketenangan, mereka terganggu
dengan adanya suara musik yang sangat keras tadi.
Tidak semestinya beberapa gangguan tadi dianggap sepele dan ringan.
Kecil maupun besar, setiap perbuatan yang bisa mengganggu dan menyakiti
kaum muslimin, maka pelakunya terkenai ancaman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk al-jannah orang yang tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya.” (HR. Muslim)
e. Tidak sedikit kaum muslimin yang melalaikan shalat
berjama’ah di masjid, bahkan yang lebih parah kalau sampai meninggalkan
shalat fardhu. Ketika acara dimulai ba’da shalat Isya’ misalnya, sejak
sore banyak yang sudah stand by di tempat acara. Mulai dari
penjual-penjual dengan aneka barang dagangannya, pengunjung acara,
sampai panitia acara pun, mereka lebih memilih berada di ‘pos-pos’
mereka daripada masjid ketika dikumandangkannya adzan maghrib dan
isya’. Wal ‘iyadzubillah.
Semestinya umat ini dibimbing untuk kembali kepada agamanya. Mereka
sangat antusias menyambut dan menghadiri acara peringatan Isra’ Mi’raj,
namun mereka belum memahami hikmah dan pelajaran yang terkandung di
dalamnya. Sebuah peristiwa dan mu’jizat besar yang saat itulah kewajiban
shalat lima waktu ini diberlakukan kepada umat Islam. Suatu musibah
jika salah satu rukun Islam ini dilalaikan hanya karena ingin
‘menyukseskan’ acara yang sudah pasti menelan biaya yang tidak sedikit
tersebut.
Kalau masih ada yang beranggapan bahwa perayaan untuk memperingati
Isra’ Mi’raj itu adalah baik, maka katakan sebagaimana kata Al-Imam
Malik bin Anas rahimahullah:
مَن ابْتَدَعَ في الإِسلام بدعة يَراها حَسَنة ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن
مُحمّدا – صلى الله عليه وعلى آله وسلم- خانَ الرّسالةَ ؛ لأَن اللهَ يقولُ
: { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فما لَم يَكُنْ يَوْمَئذ
دينا فَلا يكُونُ اليَوْمَ دينا
“Barangsiapa yang mengadaka-adakan kebid’ahan dalam agama Islam
ini, dan dia memandang itu baik, maka sungguh dia telah menyatakan bahwa
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat
dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
(Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian),
maka segala sesuatu yang pada hari (ketika ayat ini diturunkan) itu
bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun juga bukan bagian dari
agama.”
Kita memohon kepada Allah subhanahu wata’ala hidayah untuk senantiasa berpegang teguh dengan Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sampai akhir hayat nanti. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
D. MENGIMANI DAN MENYAGGAHI FITNAH TENTANG ISRA MI'RAJ
Salah satu prinsip aqidah dalam Islam adalah mengimani peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Isra’ adalah perjalanan yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama
Malaikat Jibril pada malam hari dari Masjidil Haram di Makkah ke
Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Perjalanan sejauh ini
ditempuh oleh beliau dengan mengendarai Buraq, sejenis
hewan yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada
keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai). Dengan kekuasaan Allah ta’ala, hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang.
Adapun mi’raj adalah peristiwa naiknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari
bumi menuju Sidratul Muntaha, untuk kemudian berjumpa dengan
Allah Yang Maha Tinggi dan menerima kewajiban shalat lima waktu sehari
semalam.
Sebagian orang beranggapan bahwa